Belakangan, kencang tersiar berbagai informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan laut. Di ITS semisal, bisa jadi karena memiliki Fakultas Teknologi Kelautan, selentingan tentang laut tak bisa kita hindari. Mulai dari Pelayaran IPTEK, Ocean Week, rencana keberangkatan Maitime Chellenge ke Finlandia, HUT FTK ke-25, sampai gencarnya opini para mahasiswa pasca sarjana Kelautan ITS. Tanda-tanda kecil perubahan laut Indonesia.
Sekali lagi! Mungkin semua itu karena akhir-akhir ini saya cukup dekat dengan FTK. Seandainya saya sering berada di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, bisa jadi saya mengopinikan bahwa robotika akan menjadi primadona Indonesia.
Namun terlepas dari semua itu, sepintas memang ada yang patut kita renungkan dari kelautan kita. Laut Indonesia. Sekitar dua dari tiga luas Indonesia adalah perairan. Berada pada iklim tropis, pertemuan dua lempeng besar, dan pergerakan arus laut yang melewati Indonesia, menjadi tidak ada keraguan bahwa berjuta potensi terdapat di dalamnya.
Ironisnya, hanya mereka yang kesehariannya bergelut dengan kelautan saja yang memahami kondisi di atas. Awam hanya pernah mendengar banyak kapal tenggelam atau ikan yang dicuri nelayan asing. Indonesia memiliki laut yang luas. Kebanyakan orang hanya mengetahui sebatas kalimat tersebut. Di lain sisi, laut pun belum mampu memberi sumbangsih yang cukup berarti bagi persoalan bangsa ini
Jika boleh mengintip kebelakang dengan bijak, tentunya kita tidak lupa dengan kalimat yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Sedari duduk di bangku sekolah dasar pun , saya sudah diberitakan tentang Indonesia yang Agraris. Mengapa disebut demikian, saya piker banyak alasannya. Mayoritas penduduk Indonesia adalah petani. Sebagian besar tata guna lahan pun dijadikan untuk pertanian atau perkebunan. Hebatnya lagi, swasembada beras pun pernah dicapai bangsa ini.
Benarkah demikian? Ternyata dibalik itu terdapat kenyataan yang cukup menyakitkan. Program revolusi hijau yang digalakkan pemerintah kala itu mengabaikan ketipangan kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian. Banyak kebijakan pemerintah yang tidak pro pada sector pertanian, salah satunya dengan mengkonversi lahan pertanian menajdi daerah industri, real estate, pembangunan DAM, serta sektor non pertanian lainnya.
Sementara saat ini pemerintah belum memilki agenda jelas dalam meluruskan ketimpangan tersebut. Alih-alih yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia tidak lagi mampu berswasembada beras, petani pun merana karena pemerintah lebih memilih impor karena harga yang murah. Terakhir harga kebutuhan pokok berbasis pertanian sudah didikte dunia, ketika harga kedelai dunia naik, Indonesia pun ak mampu menahan kenaikan harga di dalam negri. Lepas dari itu, kelaparan dan kekurangan gizi merebak di mana-mana. Lalu masih pantaskah Indonesia dikatakan sebagai Negara Agraris?
Kembali ke persoalan laut Indonesia. Walaupun banyak yang belum mengetahui begitu besarnya potensi laut yang ada, tidak bisa dipungkiri potensi itu memang ada. Dari bibir pantai hingga laut yang paling dalam sekalipun banyak potensi yang dapat dikeruk. Bahkan Pakar Kelautan ITS, Prof Ir Soegiono mengatakan dengan ikan saja sebenarnya Indonesia mampu hidup, bermodalkan gas dan batubara dari laut saja Indonesia tidak perlu berhutang lagi. Namun kenyatannya, laut kita memang belum terasa kiprahnya.
Dalam beberapa hal, potensi kelautan memang lebih besar dibanding pertanian Indonesia. Tidak hanya karena luas, tapi juga keanekaragaman potensinya. Saat ini kelautan Indonesia belum terlihat taringnya, tapi mereka sudah mulai dan sedang unjuk gigi. Satu hal yang saya rasakan adalah semangat dan mimpi-mimpi mereka akan kejayaan laut Indonesia akan datang.
Dari sini saya berpikir sah-sah saja jika kita menyebut Indonesia sebagai Negara Bahari. Toh sebelumnya kita juga sering mendengar bahwa nenek moyangku seorang pelaut. Bahkan civitas kelautan pun sudah menanamkan pada diri mereka bahwa Indonesia adalah negri bahari.
Lantas bagaimana dengan Agraris? Tidaklah saya berani mengatakan Indonesia bukan Negara Agraris lagi. Kecuali jika saya mahasiswa pertanian, akan saya katakan bahwa Indonesia masih Agraris.
masalahnya menjadi petani atau pun nelayan sudah didogma sebagai perkerjaan wong kere, le. pakaian compang-camping, minum dari kendi, makan dari rantang, penghasilan ya… segitu-segitu saja. hayoh, sopo jajal sing saiki pingin kerjo dadi petani ambek nelayan? daftar kere tah? 😀
rata2 yang mau jadi petani atau nelayan kan yg seumur hidup di lingkungan petani dan nelayan. karena tidak ada jalan lain bagi mereka selain pergi ke ladang dan melaut, mengikuti ayah dan paman2 mereka.
ketrampilan yang mereka punya cuman itu, le. menurutku jadi petani-jadi nelayan bisa makmur, asal tahu ilmunya. tidak sekedar mengandalkan feeling dan pengetahuan2 nenek moyang mereka. edukasi le.. edukasi.
yo iku merupakan hal yang menjadi PR bagi civitas akademika kelautan dan pertanian. terlepas juga menjadi kewajiban pemerintah sebagai penyedia fasilitas dan pembuat kebijakan yang bisa memakmurkan sektor agraris dan bahari kita itu.
lah piye, lawong sarjana kelautan’e lebih suka kerja di exxon, schlumberger, pertamina e 😀 piye nelayan iso pinter trus makmur??? sumbangsih mereka nggur mentok nang tugas akhir e :p
** loh, dowone komentarku. iki lek nang ITS Online bakal di-cut trus dikongkon gawe opini dewe iki, kqkqkqkqkq.
Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia. NPK yang terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita.
Produk ini dikenalkan oleh pemerintah saat itu sejak tahun 1969 karena berdasarkan penelitin bahwa tanah kita yang sangat subur ini ternyata kekurangan unsur hara makro (NPK). Setelah +/- 5 tahun dikenalkan dan terlihat peningkatan hasilnya, maka barulah para petani mengikuti cara tanam yang dianjurkan pemerintah tersebut. Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1985-an pada saat Indonesia swasembada pangan. Petani kita secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bhwa tanah kita juga butuh unsure hara mikro yang pda umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita.
Mereka para petani juga lupa, bahwa penggunaan pupuk dan pengendali hama kimia yang tidak terkendali, sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.
Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka.
Metode SRI yang sedang digencarkan oleh SBY belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam budidayanya. Petani kita karena sudah terlanjur termanjakan oleh olah lahan yang praktis dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sangat berat menerima metoda SRI ini.
Mungkin solusi ini dapat diterima oleh para petani kita; yaitu “BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK NASA”. Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK seperti yang dikehendaki oleh pola SRI, tetapi cara pengolahan lahan/tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.
Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.
AYOOO PARA PETANI, SIAPA YANG AKAN MEMULAI?
KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI?
KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?
omyosa,
papa_260001527@yahoo.co.id
mbak pitri
tengkiyu mbak tanggapannya
sudah di Malaysia jangan lupa Indonesia
ditunggu sumbangsihnya
omyosa
wahhh om
sepertinya om lebih tau soal pertanian
saya jdi ingat debat mahasiswa FTK ITS vs mahasiswa pertanian Unibraw yang temanya masa depan Indonesia menjadi negara maritim atau agraris di acara Oceano beberapa hari lalu…
tpi kok tulisan ini sama kaya di http://opini-kelautan.blogspot.com/2008/03/indonesia-agraris-atau-bahari.html
@mie
emang itu tulisan dari saya…….
salam kenal….
@ my name is,,,,,