Ada dua orang yang telah sedang kukenal dengan cukup baik dalam beberapa hari ini. Intensnya pertemuan kami mau tidak mau memberi pintu keterbukaan meski wanya sejengkal. Merekalah yang membantu untuk lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan. Merekalah yang menemani waktu-waktu yang mungkin akan terbuang jika sendiri. Mereka yang telah menambah cerita-cerita hidup. Menambah memori-memori baru. Hingga berujung pada pertanyaan-pertanyaan baru.
Mereka tidak saling mengenal. Hanya dirikulah yang mengenal mereka secara terpisah. Orang pertama adalah penjaga Mess Hutama Karya. Asli Cianjur yang mencari peruntungan di Jakarta. Masih muda sebenarnya umurnya. Kelihatan lebihang tua karena pergaulannya dan kebiasaannya. Rokok tak pernah ketinggalan melengkapi mulutnya. Banyak omong dan terkesan agresif. Tanda bahwa dirinya sedang menutupi kekurangannya. Begitulah yang kutau. Orang ini biasa disapa Mus. Aslinya sih Mustofa.
Orang kedua merupakan seorang pemuda Kampung yang tengah terombang-ambing gelombang ketidakpastian. Sedang berjuang menemukan labuhan pendidikan yang akan menjadi pulau dimana ia akan menuntut ilmu beberapa tahun ke depan. Mamik kalo tidak salah namanya. Bawaannya kalem, omongonnya sederhana. Membingungkan namun terkesan cerdas. Terlihat dari sikap dan caranya berkomunikasi. Upss…lama-lama jadi psikolog nih.
Keduanya memang berbeda. Namun disamakan dengan nasib serupa. Baru lulus jenjang pendidikan menengah atas. Mus sepertinya sudah bosan sekolah. Niat melanjutkan pun luntur tergerus kebutuhan lain. Belum lagi kenakalan remaja semasa sekolah yang masih membayangi dirinya. Bukan tidak mungkin, sedikit saja salah lingkungan, Mus akan kembali ke masa kelamnya. Lain hal dengan Mamik, pemuda ini semangatnya tinggi sekali untuk kuliah. UI jadi cita-citanya. Sayang, kurikulum menjadi alasan. Terlebih pembiayaan yang menjadi beban. Halangan umum setiap pemuda. Harus kandas, hancur terhempas arus dana.
Mus lulusan salah satu SMA Islam swasta di Cianjur. Sekolah Islam ternyata justru membawanya ke lembah kerusakan. Tawuran, bolos, bahkan mungkin minumuman keras telah menjadi temannya. Namun hanya rokok yang masih menjadi saudaranya hingga kini. Dirinya sudah meninggalkan masa lalunya. Tidak tahu apakah hanya sementara ia mengadu nasib di Jakarta atau untuk selamanya. Lingkungan di Jakarta memang memaksanya meninggalkan semuanya. Membuatnya harus bersikap dewasa. Memaksanya untuk berfikir bagaimana kelanjutan hidupnya. Entah bagaimana nanti akhirnya.
Untuk Mamik, kini ia masih berjuang mendapatkan pendidikan tinggi yang murah dan tentu sesuai dengan bidangnya. Sebelumnya ia menamatkan sekolahnya di salah satu SMK di Bekasi. Jurusan Komputer tepatnya. Pun kalo tidak berhasil ia tetap akan mencoba tahun depan. Tahun ini pun ia kan gunakan untuk bekerja di salah satu bengkel komputer. Yang satu ini bukan tidak berusaha. Ia merasa keadaan yang tidak bersahabat dengannya. Pernah ia mengikuti ujian masuk PTN di Jakarta. Ternyata soal-soal yang diberikan tidaklah sesuai dengan bidang yang diajarkan di sekolahnya. SMK dengan jurusan Komputer tentu kelabakan jika harus menjawab bagaimana proses pembelahan mitosis terjadi. Apalagi diminta untuk menyelesaikan reaksi kimia hidrokarbon. Behh……
Ingin sekali membahas satu lagi tentang persoalan pendidikan Indonesia. Tapi, sepertinya ini bukan tempatnya. Ntar deh, lain waktu, InsyaAllah.
Bagiku, mereka adalah orang-orang yang kurang beruntung. Kurang beruntung akan lingkungannya, kurang beruntung akan pilihannya, kurang beruntung oleh sistem yang ada. Tapi mungkin yang lebih mungkin adalah mereka tidak mencari peruntungan itu. Satu hal yang pasti keberuntungan yang hinggap pada kita bukanlah sebuah keberuntungan pula.
Tinggalkan komentar